Koordinasi, Fokus Sumberdaya, dan Integrasi Layanan

Program pelayanan kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikososial kepada penyintas bencana yang efekif mensyaratkan koordinasi antarsektor diantara pelaku-pelaku yang beragam. Semua partisipan respons kemanusiaan memiliki tanggungjawab untuk melindungi dan mempromosikan kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikososial para penyintas.

Kesehatan JIwa
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Koordinasi layanan kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikososial harus mencakup segi-segi kesehatan, pendidikan, perlindungan dan layanan sosial, serta representasi dari komunitas yang terimbas. Koordinasi layanan kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikososial ini juga harus melibatkan sektor pangan, keamanan, tenda (shelter), serta air dan sanitasi.

Oleh karena itu, perlu ditetapkan standar dan kebutuhan sehubungan dengan pemulihan psikososial penyintas bencana untuk memasikan adanya kesamaan prakik. Standar ini penting untuk memasikan bahwa ada interoperabilitas diantara badan-badan di pusat serta dengan dan antar daerah, serta menjadi pedoman advokasi dan peningkatan layanan psikososial. Sehubungan dengan hal ini, bukti-bukti ilmiah yang berkenaan dengan layanan kesehatan jiwa dan psikososial yang terbaik dan terefekif masih belum banyak dewasa ini.

Kebanyakan riset yang dilakukan dalam area ini dilakukan justru berbulan-bulan atau pun bertahun-tahun setelah berakhirnya fase akut terjadinya bencana. Namun demikian, basisbasis riset mengenai hal ini dan juga basis-basis pengalaman prakisi terus berkembang.

Guna mengikutsertakan wawasan-wawasan yang akan terus berkembang, standar-standar tersebut hendaknya diperbarui dan diadaptasikan secara periodik.

Bentuklah sebuah kelompok koordinasi dan sub-sub kelompok koordinasi aksi layanan kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikososial, dan secara bersama mengembangkansebuah rencana yang menunjukkan hal-hal yang akan dilakukan beserta siapa pelakunya, apabila kelompok semacam itu belum terdapat. Bila sudah ada, gunakan kelompok koordinasi yang ada.

Masukkan kedalam kelompok koordinasi itu, bilamana mungkin dan tepat, perwakilan-perwakilan dari pemerintah nasional dan daerah, LSM-LSM, agen-agen PBB, lembaga-lembaga donor, asosiasi-asosiasi profesional dan universitas-universitas, organisasi-organisasi religius atau yang berbasis-komunitas, dan gerakangerakan Palang Merah/Bulan Sabit Merah.

Populasi lokal yang terkena bencana memiliki aset atau sumberdaya yang bersifat mendukung kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikososial mereka. Kekeliruan umum dalam kerja-kerja kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikososial adalah pengabaian sumberdaya-sumberdaya ini dan hanya berfokus pada defisit (kelemahan, penderitaan, dan patologi) orang-orang yang mengalami bencana.

Lihat Juga

Sumberdaya-sumberdaya tersebut dapat berupa:

(1) sumberdaya individual: kemampuan dalam pemecahan masalah, komunikasi, negosiasi, dan pencarian nakah;

(2) sumberdaya sosial: keluarga, pemerintah lokal, pemimpin-pemimpin komunitas, penyembuhpenyembuh tradisional, pekerjapekerja kesehatan komunitas, guru-guru, kelompok-kelompok perempuan, klub-klub anak muda, kelompok-kelompok perencana komunitas;

(3) sumber daya ekonomi, pendidikan, kesehatan, religius dan spiritual, prakikprakik kultural.

Guna merencanakan respons yang tepat terhadap bencana, maka penting untuk mengetahui sifat sumberdaya-sumberdaya lokal, apakah mereka bersifat membantu ataukah justru berbahaya, dan sejauh mana sumberdaya ini dapat dijangkau.

Sejumlah prakik lokal ― yang terentang dari praktik-praktik kultural tradisional sampai dengan perawatan dalam panti-panti kustodial ― dapat saja bersifat merugikan dan dapat melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Kendati demikian, prinsipnya adalah memaksimalkan paristipasi populasi lokal yang terkena bencana dalam asesmen, perancangan, implementasi, pemantauan, dan penilaian bantuan, untuk menumbuhkan rasa memiliki bersama (sense of belonging) terhadap program-program layanan kesehatan jiwa dan psikososial.

Di samping itu, penting diingat bahwa banyak layanan kunci kesehatan jiwa dan psikososial yang seringkali berasal dari komunitas penyintas bencana itu sendiri ketimbang berasal dari pihak-pihak atau badan-badan eksternal.

Kurangi perbedaan-perbedaan kekuatan diantara anggota-anggota kelompok koordinasi, serta fasilitasi paristipasi dari kelompok-kelompok yang tidak terwakilkan atau kurang memiliki kekuatan/ power (misalnya, dengan menggunakan bahasa-bahasa lokal serta memperimbangkan struktur dan lokasi pertemuan).

Kenali dan selalu sadari bahwa dalam setiap bencana, di samping terdapat kerugian (misalnya, tergerogotinya mekanisme dukungan/ bantuan yang bersifat tradisional yang dimiliki sebelumnya oleh masyarakat serta tergerogotinya struktur-struktur komunitas), ada pula populasi yang “diuntungkan”, entah karena kepentingan politik, bisnis bantuan, perbuatan korupif, dan sebagainya.

Hindari Ego Disiplin Ilmu

Dalam pelayanan psikologis kepada penyintas bencana, kita harus menghindari pandangan bahwa profesi dari disiplin ilmu tertentu lebih otoritaif, lebih berwenang, lebih sahih daripada yang lain.

Profesi atau relawan dari disiplin ilmu di luar psikologi dan psikiatri merupakan sumberdaya yang harus disambut dan diopimalkan perannya, seperti dari disiplin-disiplin ilmu pendidikan, sosiologi, kesejahteraan sosial (social welfare), studi agama, keperawatan, antropologi kesehatan (peran umum antropologi kesehatan), kesehatan masyarakat, ekonomi/ manajemen, komunikasi massa, dsb; sepanjang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan dan beretika. Disiplin-disiplin ini memiliki kontribusinya yang khas dalam menunjang kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikososial penyintas bencana.

Penting diingat, bahwa perilaku manusia tidak hanya dipelajari oleh Psikologi (Irwanto, 2002)! Berbasiskan pernyataan Irwanto tersebut, disiplin-disiplin yang disebutkan di atas dapat dikelompokkan juga ke dalam keluarga besar ilmu-ilmu perilaku (behavioral sciences).

Meskipun profesi kesehatan jiwa (mental health professional) ― yang terdiri dari psikiater, psikoterapis, pekerja sosial klinis, perawat jiwa (lihat standar praktik keperawatan jiwa), konselor kesehatan jiwa, psikolog klinis, profesi kesehatan jiwa bersertifikasi, dsb ― seyogianya diberikan kewenangan supervisi dalam konteks layanan spesialisasi psikologis dan psikiatris, namun mereka hanya merupakan bagian dari komunitas profesi disiplin ilmu yang lebih luas yang mengadvokasi dan memberikan intervensi keperilakuan yang tepat terhadap faktor-faktor risiko yang memengaruhi kesehatan jiwa dan kesejahteraan psikososial penyintas bencana.

Misalnya, Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) IPB, Dr. Ir. Suryahadi (2006) menyampaikan, “Meskipun IPB memiliki ranah kompetensi utama dalam ilmu pertanian dalam arti luas, namun dengan bertambahnya fakultas baru seperi Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), kini IPB bisa lebih mengembangkan perhatian pada sisi manusianya… Ada konsep yang sudah dalam bentuk proposal serta telah diterima oleh LPPM IPB. Proposal itu berisi tentang ‘Penanganan Masalah Tumbuh Kembang Anak Pasca Bencana’, dan ini akan dengan segera direalisasikan dengan melibatkan mahasiswa IPB… IPB sangat peduli terhadap masalah perkembangan anak, pasalnya pada situasi bencana, stress dan tekanan pada anak cukup inggi. Maka dari itu kita harus cepat menanggulanginya”?

Dalam sebuah buku yang disunting oleh J. Worell dan N.G. Johnson (1997) dan diterbitkan oleh American Psychological Associaion (APA), “Shaping the future of feminist psychology: Education, research, and practice”, praktik psikologis telah didefinisikan secara luas dengan mencakup kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan semua wilayah terapan psikologi, seperti: clinical practice and supervision, pedagogy, research, scholarly writing, administration, leadership, social policy, and any of the other acivities in which psychologists may engage.

Perimbangan Nuansa Permasalahan, Populasi Rentan, dan Bentuk Layanan

Permasalahan kesehatan jiwa dan psikososial dalam bencana sangat terkait erat, meskipun dapat saja ada nuansa-nuansa beban utama faktual, yang bersifat psikologis atau sosial, seperi hal-hal berikut ini (diperlukan Diagnosik):

  1. Permasalahan yang sudah ada sebelum terjadi bencana. Permasalahan psikologis yang telah ada, misalnya: gangguan jiwa yang berat, penyalahgunaan alcohol; dan permasalahan sosial yang telah ada, misalnya: kemiskinan, kelompok terdiskriminasi atau termarginalkan, opresi politis.
  2. Permasalahan yang merupakan imbasan dari bencana. Permasalahan psikologis yang merupakan imbasan bencana, misalnya: duka cita, distress nonpatologis; depresi dan gangguan kecemasan, termasuk gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Permasalahan sosial yang merupakan imbasan bencana, misalnya: keterpisahan dari keluarga; terganggunya jejaring sosial; rusaknya strukturstruktur komunitas, sumberdaya-sumberdaya dan kepercayaan (trust); meningkatnya kekerasan berbasiskan jender.
  3. Permasalahan yang merupakan imbasan dari pemberian bantuan. Permasalahan psikologis yang merupakan imbasan pemberian bantuan, misalnya: kecemasan karena kekurangan informasi mengenai distribusi pangan; dan Permasalahan sosial yang merupakan imbasan pemberian bantuan, misalnya: tergerogotinya mekanisme dukungan/ bantuan yang bersifat tradisional yang dimiliki sebelumnya oleh masyarakat serta tergerogotinya struktur-struktur komunitas.

Dengan demikian, permasalahan kesehatan jiwa dan psikososial dalam bencana meliputi jauh daripada sekadar pengalaman gangguan stres pasca-trauma (PTSD) yang sering didengung-dengungkan.

Dalam situasi bencana, tidak seiap orang memiliki atau pun mengembangkan permasalahan psikologis yang berarti. Banyak orang menunjukkan ketangguhan (resiliensi), yang merupakan kemampuan untuk menghadapi atau menanggulangi situasi-situasi kemalangan secara relaif baik.

Terdapat sejumlah faktor sosial, psikologis, dan biologis yang saling berinteraksi serta memengaruhi apakah seseorang mengembangkan permasalahan psikologis ataukah menunjukkan daya tahan dan ketangguhan dalam menghadapi kemalangan. Bergantung pada konteks bencana, kelompok atau orang tertentu memiliki kerentanan risiko yang meningkat untuk mengalami permasalahan sosial dan/atau psikologis.

Meskipun banyak bentuk-bentuk dukungan dan layanan kunci secara umum seyogianya tersedia bagi populasi yang terkena bencana, namun perencanaan yang baik secara spesifik mencakup pula penyediaan layanan-layanan yang relevan terhadap orang-orang yang berisiko lebih tinggi (misalnya pengungsi, anak 0-18 tahun, orang dengan gangguan jiwa berat, orang yang sangat miskin, orang-orang dalam panti asuhan dan panti jompo, akivis politik dan kaum minoritas etnik, orang dalam tahanan, mantan korban pelanggaran HAM, anak jalanan, dsb), yang butuh diidenitikasi dalam masing-masing krisis spesifik.

Pengidenitikasian orang-orang yang “rentan/berisiko” bukan berarti menunjukkan bahwa mereka adalah korban yang pasif. Kendatipun orang-orang tersebut memerlukan layanan/ dukungan, seringkali mereka memiliki kapasitas dan jejaring sosial yang memungkinkan mereka untuk berkontribusi terhadap keluarga atau lingkungan mereka dan untuk akif dalam kehidupan sosial, religius, dan politis.

Dalam situasi bencana, oleh karena orang-orang terimbas dengan cara yang berbeda-beda, maka dibutuhkan layanan yang berbeda-beda pula.

Kunci untuk mengorganisasikan layanan kesehatan jiwa dan psikososial adalah dengan mengembangkan sebuah sistem berlapis dari layanan-layanan yang bersifat komplementaris yang sesuai dengan kebutuhan dari kelompok-kelompok yang berbeda-beda. Misalnya, dengan piramida intervensi, dari lapisan bawah ke atas, sebagai berikut:

(1) layanan dasar dan keamanan (makanan, tenda, air, kesehatan dasar, pengendalian penyakit menular);

(2) layanan komunitas dan keluarga (pelacakan dan penyatuan kembali keluarga, asistensi terhadap perayaan perkabungan atau penyembuhan komunal, komunikasi massa mengenai metode-metode coping yang konstrukif, programprogram parening yang suporif, akivitas-akivitas pendidikan formal dan non-formal, akivitasakivitas mata pencaharian, dan akivasi jejaring sosial, seperi melalui kelompok-kelompok perempuan dan klub-klub pemuda);

(3) layanan terfokus non-spesialisik (contoh: penyintas korban kekerasan berbasis jender sangat mungkin memerlukan layanan majemuk dari para pekerja komunitas, baik layanan yang bersifat emosional maupun yang berkenaan dengan penghidupan/mata pencaharian;

(4) layanan spesialisik (misalnya, layanan psikologis dan psikiatris bagi orang-orang dengan gangguan jiwa berat, khususnya bilamana kebutuhan orang-orang ini melampaui kapasitas layanan kesehatan umum).

Perlunya Estimasi Satuan Pembiayaan Ekonomi Dari Kerusakan Psikologis

Menteri Kesehatan RI, (2008), menyebutkan bahwa “Kesehatan Jiwa adalah bagian integral dari Kesehatan; tidak ada Kesehatan tanpa Kesehatan Jiwa“.

Konsekuensinya, khususnya dalam pedoman-pedoman dan SOP-SOP yang dikeluarkan oleh badan-badan Pemerintah maupun badan-badan Asuransi, merupakan suatu urgensi untuk menyusun suatu ukuran-ukuran baku-kuanitatif (meskipun tidak selalu mungkin, namun harus senantiasa diupayakan) mengenai pengaruh bencana terhadap kondisi psikologis penyintas.

Sampai dengan saat ini ukuran-ukuran kerusakan psikologis (psychological damage) yang diakibatkan berbagai jenis bencana, yang elaboratif, akuntabel, dan disepakati, belum ada di Indonesia, padahal ini penting untuk menentukan jenis perlakuan rehabilitatif, rekonstruktif, dan pemeliharaan yang akurat dan tepat guna, beserta rentang-rentang penganggarannya.

Sumber :

Juneman. Psikologi Pelayanan Penyintas Bencana. Jurnal MERPSY Vol.1 No.2 (2010): 5-37

Juneman. Psikologi Pelayanan Penyintas Bencana. www.academia.edu https://www.academia.edu/254528/Psikologi_Bencana_Pelayanan_Penyintas_Disaster_Psychology

Eksplorasi konten lain dari Ariefrd.id

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca