Fenomena Bunuh Diri di Dunia
Fenomena Bunuh diri di Gunungkidul tidak hanya menjadi masalah lokal saja, tetapi juga menjadi masalah dunia. Bunuh diri di berbagai negara terjadi pada berbagai usia dan diindikasikan merupakan penyebab terbesar kematian ke-2 pada penduduk usia 15 – 29 tahun (WHO, 2017).
Bahkan setiap tahun terdapat 1 juta orang bunuh diri pada tahun 2003. Data 2017 menunjukan adanya tren menurun menjadi 800.000 orang per tahun. Namun tetap saja, tercatat hampir setiap 40 detik seseorang melakukan tindak bunuh diri di suatu tempat di dunia.
WHO (World Health Organization) pada tahun 2015 mencatat, 78% kejadian bunuh diri terjadi di negara-negara dengan pendapatan rendah-menengah. Modus yang sering digunakan adalah menelan racun, gantung diri, dan menembak diri dengan senjata api. Bahkan disinyalir korban karena kasus bunuh diri lebih banyak dari korban konflik bersenjata.
Fenomena bunuh diri seperti gunung es. Dari jauh puncaknya tampak kecil tapi jika didekati kenyataannya sangat besar. Karena pentingnya masalah pencegahan bunuh diri tersebut, IASP (International Association for Suicide Prevention) dan WHO telah mendeklarasikan di Stockholm pada tanggal 10 September 2003 sebagai Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia (World Suicide Prevention Day).
Baca juga : Stop Diskriminasi : Penderita Kusta Bisa Sembuh!
Gambaran Umum Bunuh Diri di Gunungkidul
Sebelum berbicara tentang fenomena bunuh diri, idealnya dapat disajikan data tentang jumlah kematian karena bunuh diri di Indonesia. Namun data resmi tentang jumlah kasus bunuh diri di Indonesia belum ditemukan penulis. Sehingga data yang disajikan lebih berfokus pada data kasus bunuh diri yang tercatat di Gunungkidul.
Agar dapat memberikan gambaran yang utuh mengapa penting bicara bunuh diri, khususnya di Gunungkidul, berikut data bunuh diri yang tercatat dalam kurun 16 tahun terakhir.
Angka Kejadian Bunuh Diri di Gunungkidul 2001-2016
Dari data tersebut, didapatkan gambaran dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di Gunungkidul tercatat kematian karena bunuh diri rata-rata 30-32 per tahun!
Dari data yang diperoleh (2005-2008), Prosentase Kejadian Bunuh Diri di Gunungkidul sendiri berdasarkan Kelompok Usia Pelaku, 54% dilakukan oleh usia produktif (26 – 60 tahun) dan 39% dilakukan oleh usia diatas 60 tahun.
Sementara data 2015 hingga Mei 2017 menunjukan bahwa 70% pelaku bunuh diri berprofesi/bermata pencaharian sebagai petani.
Adapun Cara Bunuh Diri yang dilakukan yang paling sering dilakukan adalah dengan Gantung Diri (79%), lainnya dengan cara Minum Racun dan Masuk ke Luweng/ sumur.
Penting Bicara tentang Bunuh Diri di Gunungkidul!
Menyimak fakta dan data di atas hal ini tentu menimbulkan keprihatinan tersendiri. Sehingga perlu adanya kajian dari berbagai aspek. Berikut tinjauan dari berbagai aspek yang perlu dikaji.
1. Aspek Kemanusiaan
Pro kontra soal karakteristik masyarakat Gunungkidul masih terus bergulir. Ditilik dari budaya dan sejarah sebenarnya masyarakat Gunungkidul memiliki etos yang tinggi dan pekerja keras.
Mereka menaklukkan bukit kapur untuk bertahan hidup. Bahkan beberapa rela merantau untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Sekalipun demikian, mengapa pada satu titik tertentu justru mati dengan gantung diri sebagai pilihan untuk menyelesaikan masalah?
Apakah ini suatu keberanian atau justru peristiwa kemanusiaan? Pada umumnya tidak ada seorangpun yang benar-benar “berani” untuk mati.
Seseorang mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri memiliki memiliki latar belakang/faktor biologi, psikologi dan sosial yang dipicu oleh suatu peristiwa yang bermakna. Menjadi tugas dan tanggung jawab bersama untuk mencegah bunuh diri, karena pada dasarnya bunuh diri adalah masalah kemanusiaan.
Menyelamatkan satu nyawa berarti menyelamatkan seluruh umat manusia. Perlu upaya agar bunuh diri tidak dijadikan sebagai “model” dalam menyelesaikan masalah bagi generasi masa depan.
2. Aspek Psikologis
Salah satu faktor risiko bunuh diri adalah depresi. Orang dengan kepribadian schizoid lebih memiliki kecenderungan mengalami depresi. Kepribadian schizoid ditandai dengan karakteristik tertutup, sensitif dan peka terhadap penolakan sosial.
Bunuh diri pada dasarnya bukan diagnosa suatu penyakit. Namun lebih pada ‘cry for help‘ semacam pernyataan untuk meminta tolong. Bila pernyataan tersebut mendapat tanggapan, boleh jadi bunuh diri urung dilakukan.
3. Aspek Sosial
Bunuh diri tidak bisa dilepaskan dari aspek sosial. Dinamika sosial yang cepat dalam kehidupan bisa menjadi faktor pencetus timbulnya stres dan gangguan mental emosional. Modifikasi lingkungan sosial relatif sulit dilakukan karena era jaman sudah berubah.
Konsumerisme, hedonis, media sosial dan perubahan gaya hidup bisa mempengaruhi ketahanan mental seseorang. Seseorang yang tidak memiliki ketahan mental yang baik, relatif sulit menyesuaikan diri dan rentan mengalami stres. Karena itu agar seseorang tidak mengambil keputusan untuk bunuh diri, perlu penguatan mental agar mereka lebih tahan terhadap dinamika sosial yang cepat.
4. Aspek Budaya
Adanya mitos “Pulung Gantung”. Pulung gantung adalah semacam kepercayaan bahwa kematian karena bunuh diri disebabkan seseorang menerima pulung. Pulung memiliki konotasi “positif” ketika hal tersebut dianggap sebagai takdir yang tidak dapat ditolak. sehingga ada istilah ‘ketiban pulung’ untuk mengungkapkan keberuntungan yang luar biasa.
Namun tidak demikian dengan istilah pulung gantung. Pernyataan mitos dimana korban pelaku ditandai dengan melihat atau didatangi clorot/ cahaya memanjang atau berekor (semacam bintang jatuh) ke suatu tempat dimana tempat yang terkena clorot tadi, penghuninya seolah mendapatkan pulung untuk mati dengan bunuh diri.
Jika ada anggota keluarga yang bercerita melihat atau didatangi “Pulung Gantung”, maka keluarga umumnya bisa lebih acceptance (menerima) kematian tersebut. Selain itu mitos tersebut dapat melindungi harga diri keluarga dan bisa menjadi salah satu faktor yang meningkatkan ketahanan mental.
Sayangnya kematian karena bunuh diri dianggap sebagai kematian “biasa”. Sehingga aspek pembelajaran kenapa kasus tersebut dapat terjadi, menjadi kurang mendapat perhatian. Inti permasalahan kurang tergali, karena menjadikan pulung gantung sebagai penyebab dan seolah mengabaikan faktor biologi, psikologi dan sosial.
5. Aspek Media Massa
Media massa memiliki peran yang sangat strategis untuk mencerdaskan masyarakat. Di satu sisi berita tentang bunuh diri dianggap memiliki nilai berita yang cukup tinggi. Apalagi bila dikaitkan dengan isu mistis
Namun di sisi lain, media sering mengabaikan aspek edukasi. Bahkan lebih menonjolkan sisi sensasi dan dramatis untuk menarik perhatian pembaca. Hal ini berisiko menguatkan mitos tentang pulung gantung dan stigma negatif tentang bunuh diri itu sendiri.
Media massa memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi. Terlebih dengan fasilitas media sosial informasi tentang bunuh diri bisa tak terbendung begitu juga di Gunungkidul.
6. Aspek Kebijakan
Isu tentang bunuh diri merupakan isu yang kurang populis. Dan belum menjadi fokus perhatian di berbagai daerah. Padahal bunuh diri adalah tragedi kemanusiaan.
Dimana korban pelaku menunjukkan ketidakberdayaan sistem di berbagai lini dalam kemasyarakatan. Seyogyanya pemerintah lebih memfokuskan pada isu kesehatan jiwa yang berkontribusi langsung terhadap risiko bunuh diri.
7. Aspek Spiritual dan Religi
Sering kali masalah bunuh diri ini dilihat dari sisi hitam putih, salah dan benar. Dengan tetap menghargai cara pandang agama tentang bunuh diri, alangkah bijaknya bila bunuh diri juga dilihat dari sisi yang lain. Sehingga tidak mudah menghakimi pelaku atau keluarganya atas tindakan tersebut.
Tugas kita semua agar aspek spiritual dan religi menjadi faktor pencegah dan pelindung bagi mereka yang berisiko bunuh diri. Penguatan spiritual dan religi merupakan hal yang tidak kalah penting bagi keluarga yang ditinggal. Mereka rentan mengalami gangguan mental emosional bahkan trauma yang mendalam.
Ke tujuh aspek tersebut menjadi alasan penting bagi kita semua untuk peduli pada masalah bunuh diri di Gunungkidul, atau bahkan di Indonesia. Agar bunuh diri tidak ‘dimaklumi’ dan dianggap sebagai salah satu cara mengatasi masalah.
Bunuh Diri dan Percobaan Bunuh Diri
Selama ini orang beranggapan bahwa bunuh diri adalah suatu tindakan yang dengan sengaja melukai diri untuk menuju kematian. Sehingga seringkali tanda-tanda akan bunuh diri terabaikan. Padahal istilah bunuh diri menyangkut dua aspek yakni tindakan bunuh diri dan percobaan bunuh diri.
Tindakan Bunuh Diri (Suicidal Act)
Tindakan bunuh diri adalah tindakan yang meliputi:
- bunuh diri (suicide atau committed suicide) adalah tindakan merusak diri sendiri atau menggunakan sarana apa saja yang mengakibatkan kematian.
- percobaan bunuh diri (attempted suicide) adalah tindakan dengan sengaja merusak diri sendiri atau menggunakan sarana apa saja dengan tujuan mengakhiri kehidupan yang tidak mengakibatkan kematian, namun membutuhkan intervensi medik psikiatrik.
Perbedaan antara Percobaan Bunuh Diri dan Bunuh Diri
Bunuh diri
- Umumnya dilakukan oleh orang Dewasa dan usia lanjut
- Lebih umum terjadi pada pria (Lebih banyak pada bujangan, bercerai atau duda)
- Bersifat tegas
- Menggunakan metode yang lebih mematikan
- Berkaitan dengan keinginan yang kuat untuk mati
- Cara yang sering dipakai adalah menggantung diri, minum racun keras atau membakar diri
- Stresor bervariasi meliputi sakit stadium terminal dan faktor sosioekonomi
Percobaan bunuh diri Bunuh diri
- Umumnya terjadi pada kelompok usia muda
- Lebih umum terjadi pada wanita muda yang tak menikah
- Bersifat ambivalen (mendua)
- Menggunakan metode yang tidak mematikan
- Berkaitan dengan perilaku menarik perhatian
- Cara yang sering dipakai adalah dengan meminum racun
- Stresor seringkali berupa konflik interpersonal atau konflik dalam keluarga
Jenis Bunuh Diri
Bunuh Diri Mikro (Mikro Suicide)
Kematian akibat perilaku bunuh diri misalnya bunuh diri “pelan-pelan”. Atau yang terdapat pada orang-orang yang dengan sengaja tidak mau berobat, meskipun menderita sakit, mogok makan, diet berlebihan dan sebagainya.
Bunuh Diri Terselubung (Masked Suicide)
Orang yang sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan kematian dengan cara terselubung. Misalnya mendatangi tempat kerusuhan sehingga terbunuh; aktivitas atau olahraga yang berbahaya/ ekstrim; dan overdosis pada pasien ketergantungan zat.
Bunuh Diri menurut Emile Durkheim ada 4 Kategori
1) Bunuh Diri Egoistik
Terjadi pada orang yang kurang kuat integrasinya dalam suatu kelompok sosial. Misalnya orang yang hidup sendiri lebih rentan untuk bunuh diri daripada yang hidup di tengah keluarga, dan pasangan yang mempunyai anak merupakan proteksi yang kuat dibandingkan yang tidak memiliki anak. Masyarakat di pedesaan lebih mempunyai integritas sosial daripada di perkotaan.
2) Bunuh Diri Altruistik
Terjadi pada orang-orang yang mempunyai integritas berlebihan terhadap kelompoknya, contohnya adalah tentara Jepang dalam peperangan dan pelaku bom bunuh diri.
3) Bunuh Diri Anomik
Terjadi pada orang-orang yang tinggal di masyarakat yang tidak mempunyai aturan dan norma dalam kehidupan sosialnya.
4) Bunuh Diri Fatalistik
Terjadi pada individu yang hidup di masyarakat yang terlalu ketat peraturannya. Dalam hal ini individu dipandang sebagai bagian di masyarakat dari sudut integrasi atau disintegrasi yang akan membentuk dasar dari sistem kekuatan, nilai-nilai, keyakinan dan moral dari budaya tersebut.
- TERIMA KASIH ATAS DUKUNGAN KAMU YANG TELAH MEMBACA TULISAN INI SAMPAI SINI.
- Saya sangat senang bisa menyempatkan waktu di tengah kesibukan yang padat untuk membuat konten seperti ini.
- Masukan dan kontribusi kamu sangat berarti bagi saya.
- Jika kamu ingin menyampaikan masukan, atau berkontribusi dalam berbagi pengetahuan, pengalaman, serta informasi positif lainnya di website ariefrd.id, kamu bisa mengirimkan melalui email.
Semoga kita dapat bersama-sama membantu dalam membangun masyarakat yang lebih baik, dengan berbagi tulisan. Karena berbagi berarti berkehidupan! Sekali lagi, terima kasih banyak atas dukungannya, dan saya berharap semua aktivitas yang kita jalankan saat ini berjalan dengan baik dan dalam penyertaan yang ALLAH Yang Maha Kuasa. Salam sukses untuk Kita semua!
—
Sumber: Modul Penanganan Faktor Bunuh Risiko Bunuh Diri, Tim Penanganan dan Penanggulangan Bunuh Diri Kabupaten Gunungkidul.